Kamis, 24 Mei 2018

PERMASALAHAN HUKUM PEMBERLAKUAN PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN RI NOMOR P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI






Sumber Ilustrasi Link

Pada prinsipnya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[1]Dalam konteks yang demikian ini, maka unsur campur tangan negara dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan hal esensial yang tidak bisa ditinggalkan. Negara memiliki peran untuk memaksimalkan tugas dan fungsinya melalui “kepanjangan tangan” nya maupun berperan langsung sebagai penentu kebijakan sektor lingkungan. Unsur filosofi berikutnya adalah untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, landasan pengelolaan negara tersebut berpangkal pada pemberdayaan masyarakat.

Salah satu sektor penting dalam bidang lingkungan hidup yang juga menyangkut hajat hidup orang banyak adalah pada bidang kehutanan. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.[2]

Wujud konkrit penguasaan negara atas sektor kehutanan adalah adanya institusi khusus yang diberikan tugas secara langsung oleh negara untuk mengelola hutan. Institusi tersebut adalah Perusahan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara (Selanjutnya disebut PP 72/2010), Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perum Perhutani untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.[3]Ketentuan yang demikian ini mengandung pengertian bahwa Perum Perhutani diberikan Hak Pengelolaan Hutan oleh Negara sesuai amanat PP 72/2010 tersebut.

Legitimasi pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani juga diamanatkan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan). Sebagaimana dinyatakan bahwa pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri.[4]

Berdasarkan penjabaran sebagaimana tersebut di atas, poin penting pengelolaan hutan di Indonesia adalah di bawah kekuasaan negara. Sedangkan dalam pelaksanaannya sangat membutuhkan payung hukum yang jelas dan benar sebagai bentuk implementasi negara hukum (rechtstaat) yang mengedepankan kepastian hukum. Hal ini terlebih dahulu Penulis uraikan untuk mengintroduksi pembahasan mengenai persoalan-persoalan yuridis seputar pemberlakuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (selanjutnya disebut Permen LHK) yang baru-baru ini dikeluarkan khususnya berkaitan dengan Perhutanan Sosial.

Permen LHK Nomor P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perum Perhutani (selanjutnya disebut P.39) pada dasarnya merupakan tindak lanjut dikeluarkannya Permen LHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (selanjutnya disebut P.83). P.83 dan P.39 keduanya secara morfologis memiliki bentuk hukum yang sama, yakni sama-sama Peraturan Menteri. Implikasinya, baik P.83 maupun P.39 dalam hierarki peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang sederajat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[5]

Dari sisi substansi, P.83 mengatur tentang Perhutanan Sosial (umum), sedangkan P.39 mengkhususkan pengaturannya tentang Perhutanan Sosial (selanjutnya disingkat PS) di wilayah kerja Perum Perhutani. Dengan kata lain, P.39 merupakan aturan hukum yang bersifat khusus daripada P.83. Hal ini perlu disampaikan agar memberikan pemahaman manakala terjadi konflik pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, dalam konteks materi muatannya masih terikat hierarki sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011.

Sebagai aturan yang memiliki kedudukan sederajat, antara P.83 dan P.39 sudah sepatutnya berjalan selaras dan tidak bertolak belakang. Prinsip-prinsip yang diatur dalam P.83 seharusnya diimplementasikan dalam P.39. mengingat P.83 lebih dahulu dikeluarkan daripada P.39. Bukti bahwa antara P.83 dan P.39 saling berhubungan secara yuridis sistematis tersurat dalam ketentuan Pasal 25 huruf b dan c P.39. Kedudukan P.39 juga tidak mencabut keberlakuan P.83. Sedangkan pada saat P.83 diberlakukan, aturan-aturan yang dinyatakan tidak berlaku antara lain:
  1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/MenhutII/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 407) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 826);
  2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.88/MenhutII/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1495);
  3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.89/MenhutII/2014 tentang Hutan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1496);
  4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/MenhutII/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kemitraan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 958).

Implikasinya, P.83 merupakan “induk” dari beberapa aturan yang telah dinyatakan dicabut sebagaimana tersebut di atas. Sebagai aturan induk, maka prinsip dasar dalam P.83 seyogianya diterapkan juga dalam materi aturan khususnya. Terhadap hal-hal sebagaimana terurai di atas, Penulis menarik isu hukum:
Apakah konsep dasar yang diatur dalam P.39 telah sesuai dengan kaidah dan prinsip dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Untuk menjawab isu hukum di atas, Penulis akan menguraikan beberapa perbandingan ketentuan hukum yang bermuatan kaidah dan prinsip hukum terhadap pengaturan dalam P.39.

Konsep Perhutanan Sosial
Sebagaimana penjelasan awal, bahwa P.39 berisi aturan yang bersifat khusus daripada P.83. P.39 hanya mengatur Perhutanan Sosial yang dilakukan dalam wilayah kerja Perum Perhutani. Sedangkan P.83 mengatur Perhutanan Sosial secara umum. Oleh karena itu, pengertian mengenai Perhutanan Sosial tidak ditemukan dalam P.39.

Secara umum, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.[6]

Dalam pengertian tersebut mengandung beberapa unsur, antara lain sistem pengelolaan hutan lestari, dilaksanakan dalam kawasan hutan negara, atau dilaksanakan dalam kawasan hutan hak/adat, masyarakat setempat atau masyarakat adat sebagai pelaku utamanya, dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Prinsip pokok dari pengaturan ini menurut Penulis terdapat dua hal, Pertama ruang lingkup pelaksanaan PS (di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/adat) dan yang Kedua bentuk pelaksanaan PS.

Dalam P.39, yang dimaksud Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.[7]


Dari pengertian mengenai Perhutanan Sosial tersebut di atas, terdapat perbedaan mendasar. Pertama, Ruang lingkup pelaksanaan P.39 adalah pada kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sedangkan P.83 meliputi kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat. Kedua, Bentuk Pelaksanaan P.39 dituangkan dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Sedangkan P.83 diwujudkan dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.

Pengertian mengenai PS di wilayah kerja Perum Perhutani sebagaimana dimaksud dalam P.39 memberikan limitasi bentuk pelaksanaannya. Dalam hal ini, bentuk pelaksanaan PS di wilayah kerja Perum Perhutani hanya berupa Pemberian Izin Pemanfaatan Hutan (dalam P.39 disebut Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial disingkat IPHPS). Tidak adanya bentuk pelaksanaan PS melalui Kemitraan Kehutanan menjadi hal yang membedakan antara konsep PS dalam P.39 dan P.83. Sungguh ironis, dalam kawasan hutan negara yang sudah diberikan hak pengelolaan namun tidak dibuka peluang jalur kemitraan kehutanan. Dengan demikian terdapat hal dalam P.39 yang tidak sejalan dengan P.83.

Konsep Izin Pemanfaatan Hutan
Izin pemanfaatan hutan sebenarnya merupakan instrumen kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk membolehkan pihak-pihak tertentu (di luar pengelola) untuk bisa berpartisipasi memanfaatkan hutan dengan syarat dan prinsip khusus. Pemberian izin pemanfaatan hutan dilandasi pada filosofi kemakmuran rakyat yang menjadi dasar penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dalam UU Kehutanan, pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.[8] Prinsip dasar pemberian izin pemanfaatan hutan berpangkal pada penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan. Hal ini dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.[9]

Adapun pengertian izin pemanfaatan hutan menurut UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (selanjutnya disebut UUP3H) adalah izin untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang berupa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, atau Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.[10]

Senada dengan itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (selanjutnya disebut PP 6/2007) disebutkan bahwa Izin pemanfaatan hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan.[11]

Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHS) sebagaimana dimaksud dalam P.39 merupakan bentuk khusus dari izin pemanfaatan hutan. Oleh karena itu, ketentuan pemberian IPHPS tidak diperkenankan bertentangan dengan pemberian izin pemanfaatan hutan secara umum. Lebih detail yang dimaksud dengan IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi.[12]

Mengenai isu hukum apakah pemberian IPHPS telah sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penulis memberikan ulasan sebagai berikut:

a.   Sasaran Pemberian IPHPS
IPHPS diberikan pada hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan wilayah kerja Perum Perhutani.[13] Secara umum pemberian izin pemanfaatan hutan terikat pada limitasi-limitasi sebagaimana dimaksud dalam PP 6/2007.

Pada hutan lindung, Pemberi izin dilarang memberikan izin lagi pada areal pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan yang telah mendapatkan izin pemanfaatan kecuali izin untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) dapat dikeluarkan dengan komoditas berbeda.[14]

Sedangkan pada hutan produksi, Pemberi izin dilarang memberikan izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan.[15]

Kaidah larangan sebagaimana dimaksud dalam PP 6/2007 tersebut di atas harus ditetapkan pula untuk pemberian izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial. Mengingat IPHPS merupakan bentuk khusus dari izin pemanfaatan hutan. Dalam P.39 tegas dinyatakan bahwa dalam kawasan hutan yang termasuk wilayah kerja Perum Perhutani dapat diberikan IPHPS. Padahal menurut PP 6/2007, izin Pemanfaatan Hutan dilarang diberikan pada wilayah kerja BUMN bidang kehutanan.

BUMN bidang kehutanan dimaksud adalah Perum Perhutani sesuai amanat Pasal 2 jo Pasal 3 ayat (1) PP 72/2010. PP 72/2010 tidak lain juga merupakan tindak lanjut ketentuan Pasal 21 UU Kehutanan dan Pasal 4 PP 6/2007.

Mengenai aspek larangan pemberian izin pemanfaatan hutan tersebut, Perum Perhutani pun bahkan dilarang memberikan izin pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga atas pengelolaan hutan yang berada di wilayah kerja perusahaan.[16]

Pemanfaatan hutan dengan masyarakat setempat pada kawasan yang termasuk dalam wilayah kerja Perum Perhutani hanya dapat dilakukan dengan pola kemitraan.[17]Yang dimaksud dengan “kemitraan” adalah kerjasama antara masyarakat setempat dan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.[18]  Lebih lanjut, dalam PP 72/2010 juga dinyatakan bahwa pengelolaan hutan di hutan negara dapat dikerjasamakan dengan pihak lain.[19]

Pola Kemitraan kehutanan bahkan juga diatur dalam P.83, dimana kemitraan kehutanan dilakukan antara pengelola hutan atau pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat. Salah satu Pengelola hutan adalah BUMN atau BUMD pengelola hutan negara.[20]

Dari penjabaran tersebut di atas, nampak jelas bahwa pemberian IPHPS berdasarkan ketentuan P.39 bertentangan dengan ketentuan PP 6/2007, PP 72/2010 dan P.83.

b.   Jangka Waktu Pemberian IPHPS
IPHPS diberikan dalam jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dilakukan evaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.[21] Jangka waktu tersebut berlaku secara menyeluruh untuk semua jenis kegiatan yang termuat dalam IPHPS.

Kegiatan dalam IPHPS meliputi:
1.   Usaha pemanfaatan kawasan;
2.   Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman;
3.   Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman;
4.   Usaha pemanfaatan air;
5.   Usaha pemanfaatan energi air;
6.   Usaha pemanfaatan jasa wisata alam;
7.   Usaha pemanfaatan sarana wisata alam;
8.   Usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung; dan
9.   Usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung.

Dari beberapa kegiatan IPHPS tersebut diatas, yang hanya dilakukan di hutan produksi adalah usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.[22]

Secara umum, jangka waktu pemberian izin pemanfaatan hutan diatur dalam PP 6/2007. Ketentuan jangka waktu tersebut tidak sama untuk setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan. Secara rinci jangka waktu izin pemanfaatan hutan dalam hutan lindung diatur pada Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30 PP 6/2007. Sedangkan pada hutan produksi diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 59 PP 6/2007.

Dari pengaturan di atas, nampak terdapat perbedaan antara ketentuan jangka waktu IPHPS dalam P.39 dengan ketentuan jangka waktu pemberian izin pemanfaatan hutan dalam PP 6/2007. Perbedaan tersebut secara yuridis berimplikasi pada keberlakuan aturan hukum yang digunakan. Tentunya dengan merujuk ketentuan-ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana uraian terdahulu.

Implikasi Yuridis Pemberlakuan P.39
P.39 dan P.83 merupakan aturan hukum yang termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 berlaku prinsip aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Artinya, dari aspek pembentukan aturan hukumnya, materi muatan dalam P.39 maupun P.83 tidak boleh bertentangan dengan materi muatan Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang.

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, nampak bahwa P.39 bertentangan secara konseptual dengan P.83, PP 6/2007, PP 72/2010 dan bahkan secara prinsip bertentangan dengan UU Kehutanan. Kemudian mengenai aturan hukum mana yang berlaku jika terdapat konflik yang demikian, secara teori hukum berlaku asas preferensi lex superiori derogat legi priori (aturan hukum yang lebih tinggi hierarkinya mengalahkan aturan hukum yang lebih rendah).

Merujuk teori pemberlakuan aturan hukum tersebut di atas, jikalau P.39 tetap “dipaksakan” untuk dilakukan, maka menurut Penulis dapat menimbulkan efek yang tidak baik dan bahkan berimplikasi pidana. Pertama, dari sisi keberlakuan hukum, pemberian IPHPS sebagaimana dimaksud dalam P.39 tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan PP 6/2007 dan PP 72/2010. Dengan kata lain, rujukan utama untuk memberikan izin pemanfaatan hutan pada kawasan hutan yang masuk wilayah kerja Perum Perhutani tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam PP 6/2007 dan PP 72/2010. Kedua, pemberian IPHPS yang nyata-nyata dilakukan tanpa dasar hukum bahkan melanggar kaidah hukum yang lebih tinggi tersebut merupakan tindakan melawan hukum. Akibatnya, kerugian keuangan negara dalam hal ini Perum Perhutani tidak menutup kemungkinan terjadi. Sebab hak pengelolaannya secara tidak langsung terkurangi. Dalam konteks yang demikian, penegakan hukum pidana dapat diterapkan.

Selanjutnya, Pasal 28 huruf a dan b UUP3H menyatakan bahwa
Setiap pejabat dilarang:
a.    Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;
b.    Menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan dan/atau izin penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam pidana berdasarkan Pasal 105 UUP3H dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Disamping aturan hukum tersebut di atas, pemberlakuan P.39 tidak menutup kemungkinan dapat mengarah pada tindak pidana korupsi di bidang kehutanan. Sebab negara dirugikan secara melawan hukum dengan praktik pemberian IPHPS sesuai P.39.

Penutup
Tulisan ini adalah kajian personal yang dilatarbelakangi pada fenomena perhutanan sosial. Penulis mengkaji secara normatif dari aspek peraturan perundang-undangan. Dengan keterbatasan waktu, tentu berakibat kurang sempurnanya tulisan ini. Sehingga saran dan masukan perbaikan senantiasa terbuka. Semoga bermanfaat.


[1]  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
[2]  Penjelasan Umum UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
[3]  Pasal 2 jo Pasal 3 ayat (1) PP 72/2010
[4]  Penjelasan Pasal 21 UU Kehutanan
[5]  Pasal 7 jo Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011
[6]  Pasal 1 angka 1 P.83
[7] Pasal 1 angka 1 P.39
[8]  Penjelasan Umum UU Kehutanan
[9]  Penjelasan Pasal 2 UU Kehuranan
[10] Penjelasan Pasal 12 huruf a UUP3H
[11] Pasal 1 angka 10 PP 6/2007
[12] Pasal 1 angka 3 P.39
[13]  Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 3 P.39
[14]  Pasal 27 ayat (2) PP 6/2007
[15]  Pasal 48 ayat (2) huruf a PP 6/2007
[16]  Pasal 4 ayat (3) PP 6/2007 jo Pasal 3 ayat (4) huruf f PP 72/2010
[17] Pasal 84 jo Pasal 99 ayat (1) huruf b PP 6/2007
[18] Penjelasan Pasal 99 ayat (1) PP 6/2007
[19] Pasal 3 ayat (5) PP 72/2010
[20] Pasal 41 P.83
[21] Pasal 16 P.39
[22] Pasal 5 P.39

Pada prinsipnya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[1]Dalam konteks yang demikian ini, maka unsur campur tangan negara dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan hal esensial yang tidak bisa ditinggalkan. Negara memiliki peran untuk memaksimalkan tugas dan fungsinya melalui “kepanjangan tangan” nya maupun berperan langsung sebagai penentu kebijakan sektor lingkungan. Unsur filosofi berikutnya adalah untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, landasan pengelolaan negara tersebut berpangkal pada pemberdayaan masyarakat.
<-- ISI KONTEN DI SINI -->
<-- ISI KONTEN DI SINI -->
<-- ISI KONTEN DI SINI -->
<-- ISI KONTEN DI SINI -->
prev next

Tidak ada komentar:
Write komentar