Suatu saat, tanpa sengaja saya mendengarkan nasihat ‘Kyai’, yang kebetulan juga ayah saya. Ketika itu beliau menyampaikan secara tidak langsung kepada saya, namun di hadapan para guru dan kyai yang sedang bersilaturrahmi kepada beliau. Tadinya saya enggan menuliskan ini dalam dunia digital. Namun tidak ada maksud lain kecuali sebagai etika ‘santri’ yang dalam ‘Ta’limul Muta’alim’ selalu berbekal kertas dan bolpoin untuk mencatat ilmu baru kala mendengar, melihat atau mengalami (kayak saksi, he he).
Tema awalnya “Tawadhu’”, dalam pengertian umum tidak menyombongkan diri baik di hadapan manusia maupun khususnya di hadapan Allah. Beliau berkata “Seorang pengajar (termasuk seperti saya), pada dasarnya tidak membuat santri menjadi pandai, tidak pula mensukseskan santri melalui apa yang diajarkan. Pinter dan suksesnya santri adalah karena Allah. Pengajar tidak lebih hanya menambahi ilmu saja, karena sejak lahir Allah sudah membekali setiap makhluk Nya dengan apa yang disebut “Purwaning Waseso”. Beliau lantas menambahkan, “Tidak bisa dibayangkan jika seorang bayi tidak dibekali “Purwaning Waseso”, bagaimana dia bisa bertahan hidup? Bahkan seekor anak sapi yang baru lahir sekalipun, dia sudah dibekali ilmu oleh Allah. Darimana dia tahu tempat dia menyusu kepada induknya jika tidak ada Ilmu dari Allah.” Demikian beliau mengungkapkan.
Terus terang saya jadi GR dengan apa yang beliau sampaikan. GR saya merasa bahwa itu sebenarnya nasihat khusus untuk saya. Sebab saya hafal betul, dialektik dengan pendekatan contoh konkrit di atas, sering ditujukan kepada ‘santri’ yang menyimpan pertanyaan (“Masak Iya?”) dalam benaknya. Termasuk saya. He he. Skak Mat!!! Namun saya sadar, itulah kelemahan saya.
Lebaran lalu, saya didatangi alumni-alumni yang sekarang sudah jadi “Kyai”. Aji mumpung, saya coba bertanya kepada mereka, siapa yang memberi Anda gelar Kyai? Bilamana orang disebut Kyai? Terdiam cukup lama dan tidak ada jawaban. Lalu, saya coba melempar clue, kalau gelar akademik, setahu saya bisa ditempuh melalui jalur akademik pula. Namun gelar Kyai menurut saya adalah gelar yang disematkan oleh masyarakat (gelar sosial). Bila ada yg lebih tahu monggo saya juga diberitahu jawabnya.
Berbekal pitutur Kyai di atas, saya sampaikan kepada senior-senior saya tersebut supaya jangan sampai punya rasa “sok”. Terlebih sok menjadi Kyai. Itung-itung “Tutur Tinular”. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Write komentar