Rabu, 24 Oktober 2018


Disampaikan kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) Reguler baik kelas A maupun kelas B, setiap mahasiswa (individu) diwajibkan membuat artikel dengan pilihan tema:

  1. Hukum dalam menciptakan ketertiban di masyarakat.
  2. Ilmu hukum sebagai disiplin Sui Generis.
  3. Antinomi kepastian hukum dan keadilan.
  4. Pentingnya kaidah hukum dalam kehidupan masyarakat.
Ketentuan penulisan artikel:
  1. Setiap mahasiswa memilih satu dari empat tema di atas.
  2. Artikel diketik dan disimpan dalam format Ms. Word dengan panjang tulisan minimal 1.000 kata dan maksimal 1.500 kata. Menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 12 dengan single spasi. Layout kertas A4.
  3. Judul artikel tidak diperkenankan sama antara mahasiswa yang satu dengan lainnya.
  4. Artikel ditulis dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan tidak berisi fitnah maupun ujaran kebencian kepada pihak mana pun.
  5. Di dalam artikel, wajib mencantumkan minimal 2 (dua) teori atau pendapat ahli hukum yang digunakan sebagai acuan pembahasan dengan tetap memasukkan sumber literaturnya.
  6. Artikel tidak diperkenankan berisi cerita fiksi, dapat berupa opini maupun pengalaman pribadi yang dianalisa.
  7. Pada paragraf akhir artikel, wajib memuat kesimpulan dari apa yang dituliskan. 
  8. Setiap mahasiswa dapat menambahkan ilustrasi yang relevan (bila ada).
  9. Artikel harus murni karya mahasiswa.
Kriteria penilaian:
Penilaian akan dilakukan berdasarkan originalitas substansi artikel, kesesuaian antara tema dan pokok bahasan serta bahasa penyampaian yang digunakan.

Ketentuan pengumpulan artikel:
  1. Artikel dikumpulkan maksimal sebelum waktu Ujian Tengah Semester (UTS).
  2. Artikel dikumpulkan dalam bentuk soft file dengan link pengumpulan sebagaimana tersebut pada bagian akhir tugas ini.



Form Layout


Link Pengumpulan Tugas
Link di bawah merupakan halaman pengumpulan tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum

TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM

Minggu, 21 Oktober 2018

Ilustrasi Penulis. Tag foto by detikcom
Istilah ‘Hari Santri’ dikenalkan pasca dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Kurang lebih setahun sejak Ir. H. Joko Widodo – Dr (Hc)., Drs. HM. Jusuf Kalla terpilih pada pemilu tahun 2014. Maka wajar jika penetapan Hari Santri juga kerap dikaitkan dengan janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Terlepas perdebatan antara janji politik maupun bukan, secara faktual Ir. H. Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia telah menetapkan keputusan tentang Hari Santri. Tentu, penuangan ‘Hari Santri’ pada keputusan Presiden memiliki implikasi yang luas. Terutama dalam konteks pemberlakuan peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, mencermati ketentuan Pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12/2011), terdapat Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur (regeling) disamping pada bentuk dasarnya yang bersifat menetapkan (beschikking). Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri berisi penetapan tanggal 22 Oktober sebagai ‘Hari Santri’. Sehingga jelas bahwa Hari Santri ditetapkan melalui produk peraturan perundang-undangan yang sah dan sesuai ketentuan yang ada.

Inisiasi Hari Santri
Konsideran menimbang huruf c Keppres tentang Hari Santri secara gamblang menguraikan latar belakang tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Setidaknya, pada tanggal itu pernah terjadi peristiwa berharga bagi bangsa Indonesia, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945 yang resmi diserukan “Resolusi Jihad” oleh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) agar para ulama, santri di seluruh penjuru tanah air melakukan upaya membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Mencermati landasan dalam Keppres tersebut, tentu bukan semata-mata dimaknai keberpihakan negara kepada warga Nahdliyyin. Esensinya lebih memandang makna “Resolusi Jihad” bagi bangsa dan negara Indonesia. Siapa pun yang menyerukan.

Bahkan, pembahasan mengenai penentuan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri juga melibatkan sedikitnya 13 (tiga belas) ormas Islam. Meskipun akhirnya Muhammadiyah tidak turut menandatangani kesepakatan 22 Oktober sebagai Hari Santri dengan alasan kekhawatiran polarisasi.

Dipungkiri maupun tidak, KH. Hasyim Asy’ari sangat identik dengan NU. Sebagai pendiri NU sekaligus penyeru “Resolusi Jihad” yang akhirnya digunakan sebagai dasar penentuan Hari Santri, banyak kalangan yang mengidentikkan Hari Santri adalah milik warga NU. Benarkah demikian? Tentu perlu dilihat dari berbagai aspek.

KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar sekaligus sebagai cendekiawan muslim yang berkontribusi mengantarkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau rela mengorbankan tenaga, pikiran, maupun harta demi bangsa dan negaranya.

Tokoh bangsa Indonesia. Bukan lagi tokoh yang hanya dimaknai inklusif milik warga NU. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, Pemerintah RI menganugerahi KH. Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hal ini sebagai bukti legitimasi ketokohan dan kontribusi beliau pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Domain Negara, Milik Seluruh Bangsa
Sejak ditetapkan, tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2015, Keppres tentang Hari Santri resmi berlaku dan secara yuridis memiliki akibat hukum. Satu di antara akibat hukumnya, melalui kewenangan eksekutif yang dimiliki, Presiden selaku kepala pemerintahan yang menetapkan Hari Santri melalui produk hukumnya memposisikan peringatan hari santri tidak lagi hanya milik salah satu golongan, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.

Secara yuridis normatif, nampak pada konsideran mengingat Keppres tentang hari santri yang menunjuk Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini bermakna bahwa Presiden dalam menetapkan Hari Santri berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.

Implikasinya, Hari Santri merupakan domain Negara Republik Indonesia dengan beragam elemen masyarakat dan agamanya. Selayaknya, momentum peringatan Hari Santri Nasional tidaklah dianggap polarisasi antar golongan. Khususnya warga Nahdliyyin.

Sebaliknya, kiprah yang dilakukan oleh NU baik secara kelembagaan maupun kultural dalam memeringati Hari Santri Nasional haruslah dimaknai khidmah. Patuh pada keputusan yang dibuat oleh ulil amri. Seharusnya, elemen bangsa Indonesia baik secara institusional maupun non institusional pemerintahan turut serta dalam upaya suksesi peringatan hari santri tersebut. Selain sebagai kepatuhan, juga sebagai bentuk apresiasi terhadap jasa Pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan.

Ada beberapa makna yang terkandung dari penetapan Hari Santri oleh Presiden. Pertama, terdapat proses ‘nasionalisasi’ Hari Santri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia. Dalam hal ini, juga berarti rekognisi (pengakuan) eksistensi santri oleh negara.

Kedua, dari sudut pandang edukasi, nilai sejarah-nasionalisme yang terkandung pada peristiwa seruan “Resolusi Jihad” merupakan pendidikan moral yang luar biasa. Pelajaran bagaimana seyogianya menjadi generasi muda bangsa Indonesia.

Ketiga, dari sisi budaya, ciri khas santri dengan segala macam tradisinya merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sekaligus sebagai penunjuk budaya asli turun – temurun yang kita miliki. Jauh sebelum Republik Indonesia merdeka. Budaya santri tidak lagi bersifat inklusif, santri dengan nasionalitas yang dimilikinya, terbuka secara luas untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya bagi bangsa dan negara.

Mengenai polarisasi, secara faktual dalam Keppres tentang Hari Santri tidak memberikan definisi santri secara khusus. Demikian halnya pada produk hukum lain. Definisi santri masih beragam dari sudut pandang tata bahasa maupun peristilahan teknis. Oleh karena itu, diskursus pada tulisan ini tidak jauh mengurai mengenai definisi santri.


Beragam uraian di atas, sebenarnya penulis menekankan supaya tidak terlampau berstigma bahwa hari santri hanya milik NU. Santri dengan keragaman definisinya merupakan elemen bangsa Indonesia. Peringatan Hari Santri Nasional adalah ‘hajat bersama’ yang perlu dilestarikan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan. Selamat Hari Santri Tahun 2018.





KENTALNYA 'NUANSA NU' PADA PERINGATAN HARI SANTRI NASIONAL

Selasa, 16 Oktober 2018




Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara definisi pondok dan pesantren. Pondok merupakan tempat mengaji atau belajar agama Islam, sedangkan pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara definisi pondok dan pesantren. Keduanya sama-sama bermakna tempat dan ada proses belajar agama Islam.

Sejalan dengan definisi tersebut, menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PP 55/2007), disebutkan bahwa Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga  pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu
dengan jenis pendidikan lainnya. PP 55/2007 tidak membedakan definisi pondok dan pesantren. Memang, definisi tersebut di atas lazim disebut oleh masyarakat dengan nama “Pondok Pesantren”.

Berbeda dengan definisi kamus besar bahasa Indonesia, Pasal 1 angka (4) PP 55/2007 lebih teknis memberikan batasan definisi pondok pesantren. PP 55/2007 mendefinisikan pondok pesantren selain sebagai tempat mengaji (belajar agama Islam), juga ditambahkan unsur “berbasis masyarakat”. Hal ini mengandung makna bahwa pondok pesantren bukan merupakan institusi pemerintahan, bersifat privat dan berorientasi pada kemanfaatan sosial.

Masyarakat umum, lebih banyak mengidentikkan pondok pesantren sebagai lembaga yang di dalamnya terdapat unsur Kyai, Santri, asrama dan berproses pada pendidikan agama Islam. Demikian mungkin yang lebih tepat menggambarkan morfologi pondok pesantren. Mengingat, pondok pesantren telah ada jauh sebelum Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya. Bahkan, tidak sedikit peran pondok pesantren dalam usaha memerdekakan Indonesia, sehingga masyarakat umum setidaknya telah mengenal pondok pesantren meski tidak mengetahui secara pasti definisi yuridisnya.

Seiring dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, banyak sekali dijumpai elemen masyarakat yang menyebut dirinya “santri”. Terlepas apa dan bagaimana definisi santri yang sesungguhnya, jika mengacu pada makna pondok pesantren di atas, kiranya secara global dapatlah dikatakan bahwa santri merupakan seseorang yang belajar agama Islam di pondok pesantren.

Pondok pesantren dengan pola pembelajaran klasik yang merupakan ciri khas utamanya tetap mempertahankan model pembelajaran ini sebagai warisan turun-temurun. Di sisi lain, benih-benih pergeseran niat santri untuk belajar agama di pondok pesantren mulai mengemuka. Dipungkiri atau tidak, ada sebagian kalangan tertentu yang berada di pondok pesantren karena murah-meriah, dekat dengan kampus (mungkin juga dalam pondok pesantren telah ada perguruan tinggi), maupun alasan lain karena terdapat pendidikan formal di pondok pesantren yang menjanjikan pekerjaan bagi lulusan.

Esensi pembelajaran agama dalam bentuk transformasi keilmuan Kyai-Santri bahkan tak sedikit hanya menjadi niat sampingan. Padahal, ada tanggungjawab moral ketika santri telah dinyatakan lulus dari pondok pesantren. Masyarakat akan selalu menganggapnya sebagai sosok yang paham dalam ilmu agama. Kadangkala, setiap kali masyarakat menemukan masalah keagamaan, santri lah sasaran utama lontaran pertanyaan.

Bagi santri yang benar-benar berniat menimba ilmu di pondok pesantren, kitab-kitab agama Islam yang telah dikajinya dapat digunakan sebagai rujukan. Lantas bagaimana dengan yang hanya sekadarnya saja belajar di pondok pesantren? Tidak menjawab pertanyaan masyarakat dirinya merasa malu, akan dijawab juga kesulitan mencari rujukan. Maka, paradigma pragmatis mulai muncul. Memanfaatkan teknologi digital, bertanyalah pada “Mbah Google”. Hanya untuk menutupi keterbatasan keilmuannya, karena telah tersemat pada dirinya gelar santri.

Ada juga yang tidak lulusan pondok pesantren, namun pandai berselancar digital sehingga mampu menjawab setiap pertanyaan masyarakat. Sanad-nya juga dari “Mbah Google”. Lebih miris lagi jika kemudahan berteknologi tersebut menjadi alasan pokok menurunnya minat santri belajar di pondok pesantren. Cukup belajar di Pondok Pesantren “Google Nusantara”.

Realitas tersebut meskipun kecil nilainya, ditemukan juga dalam kehidupan saat ini. Padahal, pembelajaran di dunia pondok pesantren terdapat nilai-nilai luhur disamping hanya memperdalam pengetahuan agama Islam. Hampir semua sisi kehidupan bermasyarakat diajarkan oleh kyai kepada santri. Kemunculan paradigma pragmatis dengan bersandar pada kecanggihan teknologi saat ini selayaknya menjadi evaluasi termasuk bagi penulis agar lebih berhati-hati dalam menjaga niat kesantrian. Karena sesungguhnya, hubungan santri dengan kyai akan selalu terjalin sejak di dunia hingga di akhirat kelak. Wallahu A’lam.

PONDOK PESANTREN 'GOOGLE NUSANTARA'