Sabtu, 29 September 2018

MENAKAR KUALITAS PEJABAT PERUM PERHUTANI



Oleh:
Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.

Bergulirnya program Perhutanan Sosial oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyisakan permasalahan. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah tumpang tindihnya rezim hukum yang menjadi dasar berlakunya program tersebut. KLHK berdasarkan Pemen LHK Nomor P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perum Perhutani (selanjutnya disebut P.39), gencar melakukan upaya-upaya percepatan perhutanan sosial khususnya di lingkup kerja Perum Perhutani.

Tercatat, hingga Juli 2018, sedikitnya perizinan perhutanan sosial telah mencapai 1,73 Juta hektar. Capaian ini terbilang cukup signifikan, jika dibandingkan dengan total luasan hutan Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 8 OLI tahun 2016 yang berkisar seluas 95.271,9 juta hektar (50,74% dari total luas daratan di Indonesia).

PP Vs Permen
Negara melalui amanat Pasal 33 UUD 1945 memberikan penegasan bahwa bumi, air dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Frasa ini menunjukkan bahwa dalam konteks pengelolaan kehutanan memerlukan peran negara sebagai penguasa sumber daya alam.

Selanjutnya, negara melalui UU Kehutanan (Pasal 21) menugaskan perusahaan umum kehutanan negara sebagai mandataris penguasaan atas sumber daya hutan. Salah satu perusahaan umum kehutanan negara tersebut adalah Perum Perhutani yang secara legitimatif diatur khusus melalui PP 72 Tahun 2010.

Perum Perhutani memiliki cakupan wilayah pengelolaan kawasan hutan meliputi Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi. Adapun landasan pengelolaan yang dilakukan oleh Perum Perhutani berdasarkan produk hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP).

Jika kemudian KLHK dengan produk hukum berupa Peraturan Menteri (Permen) yang notabene secara hierarkis berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 memiliki kedudukan di bawah PP ‘merampas’ hak pengelolaan oleh Perum Perhutani, sesungguhnya merupakan praktik penyimpangan pranata sistem hukum. P.39 jelas-jelas mengakuisisi kewenangan kelola Perum Perhutani melalui Perhutanan Sosial.

Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 48 ayat (2) huruf a PP 6/2007 jo PP 3/2008 yang pada pokoknya menyatakan bahwa pada hutan produksi, dilarang memberikan izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan. P.39 yang memberikan izin pengelolaan hutan melalui perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani senyatanya bertentangan dengan ketentuan tersebut.

Kondisi ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi dalam Pasal 28 huruf a UU 18/2013, terdapat ketentuan pidana bagi pejabat yang mengeluarkan izin bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dalam hal ini perlu melakukan evaluasi agar tidak terjerumus pada kebijakan yang ‘tidak adil’ bagi seluruh rakyat Indonesia hanya karena tidak dipenuhinya prosedur yuridis yang ada.

Maka menjadi janggal, jika ‘pejabat’ Perum Perhutani yang diakuisisi kewenangan kelola hutannya lantas ‘diam’ saja melihat tumpang tindihnya aturan yang tidak sejalan dengan sistem hukum kita tersebut.

Kemampuan Tata Kelola Hutan
Penunjukkan Perum Perhutani oleh negara sebagai perusahaan yang mengimplementasikan kewenangan tata kelola hutan bukan tanpa dasar. Tidak semua orang paham tentang manajemen pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan memerlukan keahlian khusus yang tidak sembarang orang memiliki.

Perum Perhutani dipandang mampu dan paham mengenai tata kelola hutan yang baik dan benar. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Perum Perhutani memiliki dua sisi penting. Sisi pertama, Perum Perhutani diharapkan mampu memberikan devisa bagi negara dari sektor kehutanan. Namun di sisi lain, Perum Perhutani dalam mengelola hutan diharapkan memperhatikan kondisi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan.

Basic keilmuan tata kelola hutan menjadi faktor utama. Jika orientasi yang dimiliki oleh ‘pejabat’ Perum Perhutani hanya sebatas profit semata, maka sisi keberlangsungan hutan untuk kehidupan tidaklah optimal berjalan. Maka, improvisasi pemanfaatan sumber daya hutan sepatutnya dikedepankan. Tidak sebatas mendapat keuntungan dengan proses penebangan.

Melihat realitas bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mayoritas berada pada taraf ekonomi yang memprihatinkan. Belum lagi persoalan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Jika lantas pengelolaan hutan secara mutlak diserahkan kepada masyarakat melalui program perhutanan sosial, bukankah justru menjadi berkurang penguasaan negara atas sumber daya hutan yang merupakan amanat konstitusi?

Seyogianya pemerintah khususnya KLHK segera melakukan evaluasi penerapan perhutanan sosial. Sebaliknya, KLHK perlu mengkritisi kebijakan-kebijakan tenurial yang diterapkan oleh Perum Perhutani. Utamanya, bagaimana Perum Perhutani bisa menempatkan SDM yang menggandeng bersama masyarakat untuk melakukan perbaikan kualitas dan kondisi hutan.


Sumber Ilustrasi Link

Tidak ada komentar:
Write komentar